Minggu, 23 Oktober 2011

syi'ah

SYI’AH

1.    Pengertian
Bahasa : pengikut, pendukung, partai, atau, kelompok. Sedangkan secara terminologi adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan kegunaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi SAW atau orang yang disebut sebagai ahli al-bait. Point penting dalam doktrin syiah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu berasal dari ahl-al bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl-al bait atau para pengikutnya.
Menurut Thabathbai, istilah syi’ah untuk pertama kalinya ditunjuk pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al bait pada masa Nabi Muhammad SAW para pengikutnya diantaranya adalah Abu Dzar Ghiffari Miqod bin Al-Aswad dan Ammar bin Yasir.
Pengertian bahasa dan terminologis diatas hnaya merupakan dasar yang membedakan syi’ah dengan kelompok islam yang lain. Di dalamnya belum ada penjesan yang memadai mengenai syi’ah berikut doktrin-doktrinnya.  Meskipun demikian, pengertian diatas merupakan titik tolak penting bagi madzab syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinya yang melputi segala aspek kehidupan, seperti imamah, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.

2.    Asal-usul
Tentang asal-usul kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib  yang  berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumum. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikna Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara lain.
Berlawanan dengan harpan mereka, ketika nabi wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke masjid untuk menentukan pemimpin yang baru karena hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi dan  beberapa sahabat masih sibuk dengan  persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan ahlul bait, kerabat, atau pun sahabat yang pada saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith accomply)
Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum  muslimin yang menentanga kekhalifahan dan kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka yakin bahwa semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya dan mengajak masyarakat mengikutinya. Kaum inilah yang disebut dengan kaum syi’ah.
Dalam perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkitan dengan teologi, mereka mempunyai Lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan adanya hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam ensiklopedi islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin imamaah. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini akhirnya tepecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Diantara sekte-sekte syi’ah itu adalah Iesna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat.

Buku    : Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS
Dr. Abdul  Rozak, M.Ag
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag
Pustaka setia


ALIRAN SALAF DAN KHALAF
A.    Imam ahmad ibn hanbal
1.    Riwayat  singkat hidup Beliau
Imam Ahmad Ibn Hanbal  lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H/789M dan beliau wafat pada tahun 855 M. Beliau merupakan seorang tokkoh pendiri Mdhab Hanbali. Ibunda beliau beernama  Maimunah  binti Abdul Mallik. Sedangkan ayah beliau bernama Nuhammad bi Hanbal.  Imam Ahmad bin Hanbal ini masih satu nashab dengan Rosulullsh SAW yaitu pada keluarga Nizar. Ayah beliau sudah meninggal saat beliau masih remaja. Namun  ayah beliau telah membeali beliau dengan pelajaran  tentang Al-Qur’an semenjak beliau masih  kecil. Pada usia 16 tahun beliau belajar ilmu agama  dan ilmu-ilmu Al-Qur’an kepada para ulama’ Baghdad, Syam, Basrah, Yaman, Makkah dan Madinah.diantara guru-guru beliau adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muskin, Muktamar bin Sulaiman dan masih banyak yang lainya lagi. Dari guru-guru  beliau diatas Imam Ahmad bin Hanbal mempelajari ilmu-ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir, Kalalm,  Ushul dan Bahasa Arab.
Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai orang yang sangat zahid dan juga dermawan dan juga sangat teguh terhadap pendirian. Karena hal inilah ketika kholifah Almakmun menngembangkan madhab Mu’tazilah, Beliau menjadi Mihnah (inqueitition), karena tidak mau mengakui atau menurut pada pemerintahan yang mengharuskan atu yang mengembangkan faham Muktazilah yang berhubungan dengan Al-Qur’an itu Huduts (makhluk). Akibatnya Beliaupun dipenjara beberapa kali ketikka masa kekholifahan Al Makmun, dan terus berlanjut ke masa kekholifahan Al muqtasyir dan Al watsiq yang menggantikan khoifah Al Makmun. Baru ketika kekholifahan dipegang oleh  Al Mutawakkil beliau bisa menghirup udara kebebasan dan dimulyakan oleh pemerintah terutama kholifah.
2.    Pemikiran Imam Ahmad Ibn Hanbal
a)    Pemikiran Beliau Tentang Ayat-ayat Mutsyabihat
Dalam hal semacam ini Imam Ahmad bin Hanbal lebih menggunakan atau lebih menerapkan  pendekatan Lafdhi daripada pendekatan ta’wil. Hal ini terbukti ketika beliau ditanya mengenai penafsiran beliau terhadap ayat Mutsyabihat berikut ini:
Arrahmaanu ‘ala arsyistawa (thoha: 05)
Artinya: (Yaitu) Tuhan yang  Maha pemurah, yang bersemayam diatas ‘arsy”.
Jawaban beliau atau penafsiran beliau terhadap ayat ini adalah sebagai berikut:
 ......................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
“Istawa pada ‘arsy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehenndaki  dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang bisa meyifatinya”.
Dari jawaban-jawaban belliau diatas dapat ditarik kesipulan bahwa beliau adalah lebih senang atau lebihh nenerapkan pendekatan lafdhi daripad ta’wil.
b)    Pemikiran Beliau Tentang Status Al-Qur’an
Hal inilah masalah teologis yang dihadapi oleh Ahmad  Hanbal  yaitu masalah status Al-Qur’an, yaitu  apakah Al-Qur’an itu Qodim ataukah Huduts. Hal ini pulalah yang menyebabkan Beliau dipenjara beberapa kali ketikka masa kekholifahan Al Makmun, dan terus berlanjut ke masa kekholifahan Al muqtasyir dan Al watsiq yang menggantikan khoifah Al Makmun. Karena keyakinan beliau yang begitu kukuh mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah Qodim.


0 komentar:

Posting Komentar